Selasa (3/2/2015) adalah
hari yang akan saya ingat selalu. Ceritanya begini.
Sesampai di kantor,
pemimpin redaksi (pimred) meminta saya untuk menelepon seorang syaikh dari Arab
Saudi, sebut saja namanya AS (biar keren hehe). Tujuannya, menanyakan alamat sang
syaikh untuk selanjutnya membawa beberapa buku terjemahan bahasa indonesia yang
buku aslinya ditulis oleh syekh AS.
Saya menelepon AS
menggunakan telepon kantor, dan dia angkat. Terjadilah dialog antara saya dengan
AS dengan bahasa arab.
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumussalam”
“Benar ini Syaikh AS”
“Benar”
“Saya dari penerbit,
ingin menemui antum di hotel”
“Ok”
“Antum menginap di hotel
apa? Kamar brp?”
“P*ri Casa****ca, kamar *****”
“Alamatnya?”
“Jalan P*ri Casa****ca”
“Sebentar lagi saya akan menuju ke sana dengan teman”
“Ok, saya tunggu. Antum bawa naskahnya?”
“Ya, syaikh.”
“Berapa banyak?”
“5 eksemplar”
“Ok.”
Sesaat kemudian saya menelepon taksi untuk mengantar
saya dan pimred ke lokasi. Operator taksi tersebut mengatakan, 15 menit akan
sampai di kantor. Saya pun senang mendengarnya; karena bisa segera ke hotel dan
kembali lagi ke kantor dengan waktu yang cepat.
15 menit berselang, taksi yang dipesan tak muncul juga.
Ternyata, satu jam setelah itu taksi baru datang.
Saya melihat dari lantai dua, ada taksi yang mundur ke
arah kantor. Saya dan pimred pun langsung keluar ruangan menuju taksi itu. Beberapa
meter sebelum mendekat ke kantor saya menyetop taksi itu. Saya buka pintu depan.
“Di sini pak,” kata saya
Sang sopir merasa heran, malah balik bertanya.
“Di sini apa?”
“Saya yang pesan taksi.”
“Atas nama Roni?”
“Ya.”
“Stres saya Mas.”
Tanpa menghiraukan kata-kata sopir itu, saya dan pimred
masuk taksi dan memberitahukan tujuan kami.
Pak sopir mengatakan, dia stres karena alamatnya kurang
lengkap. Saya katakan, alamatnya sudah sangat lengkap disertai dengan
patokannya.
Rupanya sang sopir masih kesal dengan operator yang memberikan
alamat saya kepada dia. Saya coba membicarakan hal lain, tapi jawabannya seperti
tidak tulus dan masih menyimpan rasa marah.
Sudahlah, saya pikir lebih baik duduk saja menikmati
jalan Jakarta. Lebih dari setengah jam di dalam taksi, saya sesekali berbicara
dengan pimred; karena dia juga sibuk membalas sms di telepon selulernya.
Sampai di hotel, pimred membayar tarif taksi. Saya pun
turun bersamanya ke lobi hotel. Terlihat di depan hotel seorang petugas
kebersihan tengah mengelap kaca. Saya beranikan bertanya kepadanya alamat
syaikh AS.
“Gedung yang mana mas?,” tanya dia.
“Nomornya sama yang di setiap gedung?,” saya balik
bertanya.
“Ya, gedung di sini ada empat. A,B,C,D. Orang yang mau
Mas temui di gedung apa?”
“O gitu, saya telepon lagi orangnya.”
Saya yang lupa bertanya atau syaikh AS yang kurang
lengkap menyebutkan alamatnya. Ah. Saya telepon lagi syaikh itu.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam.”
“Syaikh, kami sudah sampai di hotel, antum menginap di
gedung apa? Di sini ada 4 gedung, A, B, C dan D.”
“Gedung pertama dari jalan raya, gedung D.”
“Ok. Kami akan segera ke sana dan menemui antum di
hotel.”
“Maaf, sekarang saya sedang di Bogor. Antum titipkan saja
buku tersebut ke resepsionis. Bilang untuk syaikh AS.”
“Antum di Bogor?”
“Ya.”
“Masih dalam perjalanan atau sudah sampai di Bogor?”
“Okelah kalau begitu, Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam.”
Fuih. Saya tutup telepon. Kesal. Tadi sebelum berangkat
katanya masih di hotel dan mau menunggu kami. Eh, ternyata sekarang sudah di
Bogor. Parah.
“Pak, syaikhnya di gedung D,” kata saya ke pimred.
“O gitu,” ujarnya.
“Tapi pak, syaikhnya sudah di Bogor.”
“Di Bogor?”
“Iya.”
“Kataya tadi masih di hotel. Gimana sih. Emang dasar…..”
Pimred tampak juga kesal.
Saya kembali ke petugas kebersihan dan menanyakan
gedung D yang dimaksud. Dia katakan, gedung D berada di ujung. Sementara kami
ini berada di gedung A. Sambil mengomeli perilaku syaikh AS, pimred berjalan
bersama saya menuju gedung D.
Di sana kami menemui dua resepsionis. Satu laki-laki
dan satu perempuan. Kami menitipkan buku yang dimaksud kepada resepsionis yang laki-laki.
Setelah urusan selesai, kami pulang dengan taksi menuju
kantor dengan hati yang masih kesal kepada syaikh AS.